JEPARA – Pementasan seni kentrung kembali digelar di LPPL Radio Kartini 94,2 FM Jepara, Kamis (26/6/2025) malam, bertepatan dengan malam 1 Sura (1 Muharam dalam kalender Hijriah). Acara bertajuk Melestarikan Seni Tradisional di Era Milenial itu menampilkan maestro kentrung Mbah Parmo bersama cucunya, Arif Sunarwan.
Digelar secara hibrida, luring dan daring, pertunjukan ini menjadi bagian dari upaya pelestarian kentrung sebagai warisan budaya yang hingga kini masih terus diperjuangkan. Dalam pertunjukan berdurasi sekitar tiga jam itu, Mbah Parmo dan Arif membawakan kisah-kisah tradisional dengan iringan rebana dan gaya tutur khas kentrung Jepara. Tanpa naskah tertulis, keduanya mengandalkan hafalan, improvisasi, dan penghayatan.
Pada kesempatan tersebut, Mbah Parmo bercerita awal mula ia mengenal kentrung sejak 1970, belajar langsung dari sang ayah, Subari. Ia menyebut masa kejayaan kentrung terjadi pada awal 1980-an. Saat itu, ia kerap menerima undangan tampil dalam berbagai acara adat, seperti saat Sasi Besar dan Sura. “Biasanya ramai undangan untuk pentas melek bayi atau nyelamaken,” ujarnya.
Sementara itu, Arif Sunarwan mengaku mempelajari kentrung atas keinginan pribadi sejak usia 20 tahun. Kini, di usia 27, ia tak hanya melanjutkan tradisi sang kakek, tetapi juga dikenal sebagai pengrajin ukir. “Saya ingin kentrung tetap hidup dan diteruskan oleh generasi muda,” kata dia.
Di sela pentas, digelar pula dialog budaya yang dimoderatori Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) Jepara, Arif Darmawan. Narasumber yang hadir yakni Anggota Komisi B DPRD Jepara Muhammad Latifun, dan pegiat seni Sarjono atau Mbah John.
Menurut Arif Darmawan, pentas kentrung yang digelar setiap malam 1 Muharam merupakan upaya nyata pelestarian tradisi. Sejak beberapa tahun terakhir, LPPL Radio Kartini rutin menyelenggarakan pertunjukan tersebut sebagai bagian dari komitmen menjaga seni budaya lokal. “Radio Kartini ini berupaya untuk ikut menjadi bagian yang melestarikan seni tradisi Jepara, dalam hal ini adalah seni kentrung,” ujarnya.
Sementara itu, Muhammad Latifun, menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor dalam menjaga keberlangsungan seni kentrung. Ia menilai, kemajuan teknologi informasi bisa jadi peluang untuk memperluas jangkauan budaya lokal.
Menurutnya, seni kentrung merupakan bagian dari syiar Islam yang menyampaikan pesan moral dan spiritual melalui kisah-kisah yang membumi. “Kentrung menyampaikan nilai hidup yang bisa dijadikan pedoman. Pentas seperti ini juga sekaligus menjadi ajang promosi budaya secara digital,” ungkapnya.
Di sisi lain, pegiat seni Jepara, Mbah John, menyoroti kekhasan kentrung Jepara dibanding daerah lain. Ia menyebutkan perbedaan terletak pada pola ketukan rebana, alur cerita, serta gaya bertutur yang dilagukan. “Nada dan cara berceritanya khas,” tuturnya.
Ia menyebutkan, sejak ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia pada 2023, kentrung Jepara telah tampil di Pekan Kebudayaan Nasional. Pengakuan itu menjadi bukti bahwa kentrung memiliki nilai seni dan sejarah yang tinggi, serta layak dijaga dan diwariskan.
Guna mencetak penerus, Mbah John melalui Yayasan Jungpara membuka pelatihan kentrung sejak 2018. Program itu menyasar mahasiswa, pelajar SMA, hingga anak-anak SD dan SMP. Kini, sekitar 30 siswa aktif belajar melalui Sekolah Rakyat Kentrung Jepara.
Upaya lain yang tengah dilakukan adalah penyusunan modul pembelajaran dan pelatihan guru. Ia berharap, kentrung dapat masuk ke dalam kurikulum lomba seni siswa seperti FLS2N atau FTBI. “Kalau ukir bisa jadi mata lomba lokal, kentrung pun bisa,” imbuhnya.
Menanggapi hal tersebut, Muhammad Latifun menyatakan komitmen DPRD Jepara untuk mendukung pelestarian kentrung. Pelestariannya harus dilakukan secara berkelanjutan. Ia berharap pentas kentrung bisa masuk dalam agenda besar pada kalender budaya daerah. “Upaya pelestarian seni kentrung ini tidak bisa hanya sekali setahun,” ujarnya. (DiskominfoJepara/AP)